Amir Syamsuddin, Sabar Meniti Sukses
Ia punya banyak cita-cita. Keputusannya untuk menjadi advokat melambungkannya sebagai salah satu pengacara sukses negeri ini.
Siri. Kata dalam Bahasa Makasar tersebut, selalu terpatri dalam sanubarinya. Siri yang berarti malu itu menjadi pegangan hidupnya. Ia berusaha untuk tidak dipermalukan oleh masyarakat. Untuk hal itu, ia selalu menjaga martabat dan kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Dengan prinsip itu, Amir Syamsuddin menapaki satu per satu anak tangga kesuksesan.
Mengawali karir kepangacaraannya dengan menjadi staf magang di Kantor Pengacara O. C. Kaligis pada tahun 1979. Sambil kuliah sore hari di Universitas Indonesia, Amir terus menempa diri di kantor hukum yang menjadi seperti ‘universitas’ para pengacara papan atas tersebut.
Setelah mengumpulkan cukup bekal, ia membuka kantor hukum sendiri pada tahun 1983. Amir yang mengagumi pemikiran Muhammad Hatta ini mulai mengembangkan kantor hukumnya. Prinsip-prinsip koperasi diimplementasikan juga dalam manajemen kantor hukumnya. “Minimal 10 % dari gross income kami diperuntukan bagi kesejahteraan karyawan. Itu di luar gaji dan bonus mereka,” katanya mencontohkan.
Kebijakan tersebut membuat karyawannya merasa bertanggung jawab untuk secara bersama mengembangkan kantor hukum itu. Perlahan namun pasti Amir Syamsuddin & Partners terus berkembang. Kemajuan yang dialami membuat ikatan emosional Amir dan partner-nya semakin dalam. Selama 20 tahun usia kantor hukumnya, hanya ada satu partner-nya yang keluar dan membuka kantor sendiri.
Amir Syamsuddin makin berkibar. Seiring dengan itu para klien dari dalam dan luar negeri mulai merapat. Ribuan kasus telah ditanganinya. Meski begitu yang membekas dan tak mungkin dilupakannnya adalah saat dirinya bersama Albert Hasibuan dipercaya menjadi pengacara Majalah Tempo tahun 1987. Kala itu, Majalah Tempo menghadapi gugatan dari keluarga Presiden Soeharto, yang tidak puas dengan pemberitaan Tempo mengenai salah satu perusahaan keluarga tersebut.
Berhadapan dengan keluarga penguasa yang sangat disegani ketika itu tak lantas membuat Amir Syamsuddin ciut. Ia menerawang. “Tempo digugat Rp. 10 M. Sebuah anga yang mengerikan ketika itu. Namun, tangkisan kami terhadap gugatan tersebut, membuat pihak penggugat mencabut gugatan mereka,” tuturnya sambil tersenyum. Ia tak kuasa menyembuyikan rasa bangganya saat mengenang peristiwa itu.
Ia lalu ditunjuk menjadi penasihat hukum tetap Majalah Tempo dan grupnya. Ia setia menemani Tempo meski majalah tersebut kemudian dibredel, karena pemberitaan soal pemebelian kapal bekas dari Jerman Timur. Tempo menggugat. “Kami menang dua kali. Di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kami harus kalah ketika menghadapi pengaruh kekeuasaan di Mahakamah Agung yang cenderung tidak mandiri,” kata mahasiswa program S3 hukum Universeitas Indonesia ini, tenang.
Kenangan manis saat berjuang bersama Tempo mendapatkan tempat tersendiri dalam ruang hatinya. Walau ia mengaku tak mengerti manajemen Tempo untuk mengakhiri kerjasama dengannya setelah majalah berita itu terbit kembali, Ia taka kecewa. Ia memaknainya dalam bingkai profesionalisme. “Itu resiko profesi. Hal itu tak lantas menghilangkan hubungan emosional saya dengan Tempo,” ujarnya.
Profesionalismenya juga nampak dalam perlakuannya kepada putranya Didi Irawadi Syamsuddin. Meski satu profesi, ia secara tegas mengatakan tongkat estafet Amir Syamsuddin & Partners tak harus jatuh ke Didi. “Ia punya kantor hukum sendiri, terkadang dia juga membantu pekerjaan di kantor saya. Tapi untuk memimpin kantor ini ia harus menunjukan kompetensinya dulu, itupun kalau partner saya setuju semuanya,” kata pria yang menggemari novel-novel Pramudya Ananta Toer ini.
********
Pasukan TNI menggempur gerombolan Kahar Muzakar. Desing peluru membuat warga ketakutan. Seorang ibu, dibantu oleh anaknya yang sudah dewasa mengendap-endap menggendong, anaknya yang lain yang masih kecil bersembunyi di tempat persembunyian dalam tanah di kolong rumah panggung yang mereka tempati. Beberapa jam kemudian setelah suasana telah aman kembali, perlahan-lahan sang ibu menggendong kembali anak-anaknya yang terlelap kembali ke dalam rumah mereka. Kenangan masa kecil di Sulawesi Selatan itu tertata rapi dalam memori Amir Syamsuddin.
Amir mengahabiskan masa kecilnya sampai SMP di Makasar, lalu merantau ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahnya. Sejak kelas satu SMA di Surabaya Amir telah bekerja. Ia kerap berganti pekerjaan. Amir pernah menjadi seorang juru cetak foto dalam kamar gelap, lalu bekerja di sebuah pabrik roti. Semua itu dilakukan dengan tujuan menata jalan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Tahun 1965 Amir Syamsuddin menyapa Jakarta. Di ibukota ini karena ketertarikannya pada mesin, ia bekerja di sebuah bengkel, lalu membuka bengkel sendiri. Ia masih terus menata anak tangga utuk mencapai puncak sukses. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca banyak hal. Kegemaran membaca, membuat ia memilih advokat sebagai salah satu cita-citanya.
Sambil bekerja, ia lalu mendaftarkan diri di Fakultas Hukum UI, tahun 1978. “Kuliah satu tahun, pada tahun 1979 saya mulai magang di kantor Pak Kaligis. Pagi kerja, sore kuliah,” kenangnya.
Karir Amir Syamsuddin memang terus menanjak. Ia tak lupa membekali dirinya dengan pengetahuan yang lebih baik. Bapak tujuh anak dan sepuluh cucu ini, lalu melanjutkan pendidikan S2 hukum Universitas Indonesia. Ia mulai dikenal luas sebagai pengacara yang handal. Saat ini, selain klien individual dari dalam dan luar negeri, klien corporate juga merapat kepadanya, baik itu perbankan, properti, dan business enterprises.
Di tengah carut-marut dunia hukum di tanah air, Amir Syamsuddin berhasil meraih sukses sebagai pengacara yang punya integritas. Di usianya yang tak muda lagi, lelaki kelahiran Makasar 27 Mei 1946 itu masih terus berkarya, meski mulai secara bertahap membuat jarak. Saat ini, ia menemukan bahwa dirinya sedang resah menyaksikan bobroknya wajah peradilan di negeri ini.
Sebuah harapan disimpan dalam hatinya. Ia ingin melihat sebuah pembaharuan hukum, di mana masyarakat tidak lagi diperlakukan sewenang-wenang oleh pejabat publik. Amir Syamsuddin mulai menyuarakan cita-citanya dengan berbicara di seminar-seminar hukum dan menulis di kolom-kolom surat kabar. Ia percaya, dirinya tengah meretas jalan mewujudkan harapannya.(Christo Korohama/Manly)