Rhenald Kasali, Selalu Percaya Pada Perubahan
Ia mengubah cara mengajarkan manajemen di kampus. Awalnya ia terlihat sebagai orang aneh, namun ia membuktikan bahwa metode partisipatif yang dikembangkannya sangat membantu mahasiswanya.
Sepucuk surat tiba di meja kerja Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia. Surat yang ditandatangani 20 orang mahasiswa program doktoral itu, berisi permintaan penundaan tanggal ujian. Yang empunya meja hanya tersenyum. Ia menghubungi perwakilan para mahasiswa tersebut. “Kalian semua saya pecat,” tegasnya. Mahasiswa itu tergagap dan mengumpulkan teman-temannya untuk bertemu dengan sang ketua program.
Dalam pertemuan tersebut ia mendengar keluhan mahasiswanya. “Anda tidak bisa berlaku seperti ini. Anda semua mahasiswa doktoral. Ini cara serikat pekerja,” tenang ia menanggapi mahasiswanya. Seorang mahasiswa menimpali,”Tapi ini sekarang kan jaman demokrasi, Pak!” Ia langsung menjawab, ”Tidak ada urusan dengan demokrasi. Anda semua salah!” Tak ada lagi yang berani menjawab. Sunyi. “Saya mengerti kesulitan kalian, tapi cara yang kalian lakukan salah. Kita masih bisa membicarakan hal tersebut,” katanya tenang. Mereka lalu berembuk. Setelah mendapatkan pernyelesaian, mereka terlihat asyik bersenda gurau dengan sang ketua program.
Itulah Rhenald Kasali. Jebolan University of Illinois at Urbana & Champaign, Amerika Serikat ini, sangat piawai dalam menempatkan dirinya. Ia adalah seorang ketua jurusan yang tegas, namun pada saat yang bersamaan ia adalah seorang rekan, saudara dan bapak yang baik serta peduli dengan para mahasiswa dan stafnya. “Mereka bisa tertawa dan menangis bersama saya,” katanya sambil tersenyum.
Saar acara perpisahaan dengan dirinya sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen dengan mahasiswanya di program doktoral, kedekatan itu tergambar jelas. Ucapan terima kasih datang silih berganti dari para mahasiswanya. Ada yang masih meminta waktu untuk terus berkonsultasi.
Lelaki kelahiran Jakarta 13 Agustus 1960 ini mengaku bukan pure academician. “Saya memulai karir saya sebagai dosen dengan cara yang sedikit berbeda dari teman-teman di kampus,” ujarnya. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 ekonomi di UI ia menjadi wartawan di Majalah Jakarta-Jakarta. Malang-melintang sebagai wartawan ia bekerja bersama Gani Djemat sebagai konsultan.
Seorang seniornya di FE UI menawarinya untuk jadi dosen di UI. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai konsultan dan menjadi dosen. Ia menerima tawaran tersebut karena ia melihat peluangnya untuk dapat belajar ke luar negeri terbuka. Meski harus bersaing dengan rekan dosen lainnya ia tak gentar. Kesabarannya membuahkan hasil ketika atas bantuan Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ia mendapat beasiswa ke Amerika Serikat.
Saat kembali dari AS, ia memutuskan untuk tidak menempatkan seratus persen kakinya di kampus. Ia mendirikan lembaga riset dan konsultasi manajemen, untuk menunjang keadaan ekonomi keluarganya. Selain itu lembaga itu menjadi tempat prakteknya sebelum mengajarkan manajemen di kampus. “Manajemen tak bisa diajarkan murni sebagai sebuah ilmu,” kata ayah dari Fin Yourdan Kasali dan Adam Makalani Kasali ini.
Sejak itu ia pun mengubah metode perkuliahan manajemen dengan metode partisipatif. Apa yang dilakukannya mendapat kritikan dari koleganya di kampus. “Banyak kesulitan dan tantangan yang saya hadapi, sampai pada upaya pembunuhan karakter, namun saya yakin dengan apa yang saya lakukan,” kata suami dari Elisa R. Kasali ini.
Ia yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi usang dan kuno, sehingga selalu butuh pembaharuan. “Saya selalu percaya pada perubahan,” kata pria yang mengagumi Mahatma Gandhi ini. Keyakinannya menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti ia mendapatakan kepercayaan. Awalnya dari lingkungan di luar kampus, sampai akhirnya ia dipercaya sebagai Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1998.
***
Anak lelaki itu pulang ke rumah dengan mata sedikit bengkak Baju seragamnya kotor dan lusuh. Lengan baju seragam satu-satunya itu sobek. Sang ibu menyambut anak itu dengan penuh cinta. Dibersihkannya wajah anaknya sambil sesekali menasihati anak lelakinya yang hampir setiap hari berkelahi itu. Setelah itu ia mencuci baju seragam tersebut dan menggantungnya dekat lampu teplok yang menerangi rumah sederhana mereka. Saat telah kering ia masih harus menjahit lengan baju yang sobek itu. Ia harus melakukannya sebab baju itu akan dipakai lagi oleh anaknya esok hari.
Pengalaman masa kecil itu membekas dalam ingatan Rhenald Kasali. “Saat dibelai dan dinasehati oleh ibu, saya merasa mendapatkan kasih sayang yang luar biasa,” ujarnya serius. Ingatannya terbang ke masa kecilnya yang sulit. Ia harus turun naik bis kota dari tempat tinggalnya di Kramat ke sekolahnya di daerah Kebayoran Baru.
Ia masih ingat perjuangan kedua orang tuanya untuk membiayai pendidikannya. Ketika hendak masuk SMA Kanisus keluarganya tak punya cukup uang. Ayahnya menemui pastor dan mengutarakan kesulitan mereka. Onad , demikian ia biasa dipanggil, akhirnya bisa bersekolah di sana. “Saya banyak belajar dari perjuangan orang tua saya,” katanya.
Dari perjuangan kedua orang tuanya, dia belajar bahwa tak ada tembok yang dapat menghalangi manusia untuk maju. Ia yakin bahwa di setiap tembok kesulitan selalu ada pintu. Ia pun percaya pada adagium yang diucapkan Eisntein, The measure of intelligence is the ability to change. Ukuran kecerdasan seseorang adalah pada kemampuan untuk berubah. Apa yang dicapainya, membuktikan bahwa Rhenald Kasali secara cerdas telah berhasil menemukan pintu keluar di setiap tembok kesulitan hidupnya untuk kemudian mengubah realitas hidupnya. (Christo Korohama/Manly)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home