Karol Josef Wojtyla, Musafir Dari Wadowice
Banyak yang tak yakin padanya saat pertama kali terpilih. Kerasulannya membuatnya mendapat tempat tersendiri di hati warga dunia.
Ribuan orang yang memadati Lapangan Santo Petrus, belum mau beranjak sejak dua hari yang lalu. Senin 16 Oktober 1978 itu telah di rembang petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan. “Bianca, bianca,” sebuah teriakan terdengar. Mata semua yang hadir menatap cerobong asap Kapel Sistina. Asap putih mengepul di ujung cerobong. Seorang paus baru telah terpilih.
Ketika salib besar di depan Basilika Santo Petrus dinyalakan, Kardinal Pericle Felici, muncul di balkon. “Annuntio vobis gaudium magnum, Habemus Papam! Saya umumkan kepadamu sekalian sebuah kabar gembira…Kita telah memiliki seorang Paus,” suara Kardinal Felici disambut tepuk tangan. Ia melanjutkan, “Carolus Uskup Gereja Kudus Roma Kardinal Wojtyla yang memilih nama Yohanes Paulus II.”
Semua terdiam. Lalu terdengar bisik-bisik. “Wojtyla? Chie?” Who? Wie? Qui? Mereka sibuk mencari tahu dari manakah asal sang paus baru. Afrika? Cekoslowakia? Polandia? Tapi mengapa Polandia, dan bukan Italia? Karol Josef Wojtyla muncul dan memberikan berkat urbi et orbi (untuk Kota dan Dunia ).
Kharismanya menyihir semua yang hadir. “Semoga berkat Tuhan kita Yesus Kristus beserta kita semua… Para kardinal yang terhormat telah memilih seorang uskup baru Roma. Mereka memilih seorang uskup Roma yang berasal dari negeri yang jauh. Jauh tapi selalu begitu dekat lewat iman dan tradisi Kristen,” katanya lantang. Dan, ia pun memulai perjalanannya sebagai pemimpin tertinggi umat katolik di muka bumi ini.
***
Rakyat Polandia tengah bersukaria. Pasukan Polandia pimpinan Marsekal Josef Pilsudski berhasil memukul mundur pasukan Uni Soviet hari Selasa 18 Mei 1920. Di hari yang dikenang sebagai Hari Mujizat Polandia itu, tangis pertama seorang bayi laki-laki terdengar dari sebuah apertemen kecil Jl. Gereja No.7 Wadowice, sebuah kota kecil di selatan Polandia.
Tangis bayi itu diikuti senyum gembira pasangan Karol Wojtyla, seorang purnawirawan tentara berpangkat letnan dan Emiliana Kaczorowska seorang guru keturunan Lithuania. Di Wadowice, Karol Wojtyla biasa di sapa Pak Letnan. Bayi lelaki itu dinamai Karol Josef Wojtyla. Karol diambil dari namanya, sedangkan Josef diberikan untuk mengenang Marsekal Josef Pildsuski.
Karol Jr yang biasa dipanggil Lolek adalah anak ketiga pasangan Karol dan Emilia. Si Sulung Edmund telah berumur 14 tahun saat Lolek lahir, sedangkan yang kedua Olga meninggal pada tahun1914 saat usianya belum genap setahun. Lolek sangat disayangi oleh ibunya.
Kasih sayang ibu sebenarnya tak utuh diterima Lolek, karena ibunya sering sakit dan lebih banyak tergolek di tempat tidur. Siang 13 April 1929, seperti biasa sepulang sekolah Lolek langsung ke rumah. Ketika tiba di halaman rumah ia disambut oleh gurunya, Zofia Bernhardt, dengan sebuah berita,”Ibumu meninggal dunia.” Berita itu membuat Lolek sangat terpukul. Ia hanya bisa berdoa dan berpasrah pada kehendak Tuhan
Kematian sang ibu mempererat hubungan antara Pak Letnan, Edmund dan Lolek. Ayahnya kadang mengajak Lolek bermain bola bersama. Saat Edmund lulus, Lolek dan ayahnya pergi ke Krakow untuk menghadiri wisuda Edmund. Tak lama setelah Edmund bertugas sebagai dokter, Lolek dan ayahnya dikejutkan lagi oleh berita duka. Edmund meninggal karena terjangkit demam dari pasiennya. Meski kecewa, Lolek masih bisa berujar, ”Ini kehendak Tuhan.”
Lolek melanjutkan studinya di Universitas Jagellonian. Pak Letnan ikut bersama dengannya ke Krakow. Mereka tinggal di lantai bawah rumah saudara ibunya. Lolek mengisi waktu senggangnya dengan bermain teater dan sepak bola. Tak jarang ia menghabiskan waktu dengan berdiskusi bersama teman-temannya.
27 September 1939, Warsawa jatuh ke tangan Jerman. Setelah menguasai Polandia, Jerman menutup universitas di Polandia. Mahasiswa dan dosen dijebloskan ke kamp konsentrasi Sachsenhausen, Jerman. Lolek yang kebetulan lolos bekerja sebagai pesuruh di sebuah restoran, untuk membiyai hidupnya dan sang ayah yang mulai sakit-sakitan.
Lolek melakukan semuanya dengan gembira. Saat pulang kerja ia selalu masuk ke kamar ayahnya. Sampai sore 18 Februari 1941 itu. Ia begitu bersedih ketika masuk kemar dan menemukan ayahnya telah meninggal. Kematian ayahnya, adalah pukulan traumatik terbesar dalam hidupnya, dan diyakini oleh sebagian temannya sebagai faktor penting yang mendasari keputusannya untuk menjadi imam.
Ia masuk seminari dan terlibat dalam kegiatan bawah tanah melawan pendudukan Nazi. Ia menerbitkan surat kabar anti Nazi. Setelah pasukan Jerman ditarik, ia kembali kuliah di Jagellonian mengambil Fakultas Teologi. Ia ditahbiskan sebagai imam pada 1 Nopember 1946 dan melanjutkan studi doktoral di Universitas Angelicum Roma. Karol Wojtyla lulus doktor pada 16 Desember 1946. Saat kembali ke Polandia ia ditempatkan di sebagai pastor pembantu di Paroki Niegowic. Tak lama di paroki itu ia ditarik menjadi Pastor Paroki St. Florian.
Di tempat yang baru ini ia juga menjadi dosen di Universitas Katolik Lublin. Ia sangat populer. Ia lalu diangkat menjadi Uskup Bantu untuk Keuskupan Krakow di bawah pimpinan Uskup Agung Eugeniusz Baziak, pada 4 Juli 1958. Pada 30 Desember 1963 ia diangkat sebagai Uskup Agung Krakow dan ditahbiskan 3 Maret 1964. Paus Paulus VI kemudian mengangkatnya sebagai kardinal pada 26 Mei 1967, dan menerima topi kardinal tanggal 28 Juni 1967 di Kapel Sistina, Roma.
Saat Paus Paulus VI wafat pada Agustus 1978, Kardinal Wojtyla hadir dalam konklaf untuk memilih paus baru. Karidinal Albino Luciani terpilih sebagai paus dan menggunakan nama Yohanes Paulus I. Secara tak terduga para kardinal harus dikumpulkan lagi karena Yohanes Paulus I meninggal setelah duduk di Tahta Suci selama 33 hari. Dan, datanglah 16 Oktober 1978 yang bersejarah itu. Banyak yang tak percaya dengan keputusan para kardinal. Bagaimana mungkin memilih seorang paus dari negara komunis?
Tetapi, dengan penuh cinta dan dedikasi ia memimpin gereja katolik. Ia turut mengubah wajah dunia. Dia adalah tokoh sentral dibalik runtuhnya komunis. Michael Gorbachev pun memujinya “Apa yang terjadi di Eropa Timur beberapa tahun belakangan ini tidak akan mungkin pernah terjadi tanpa kehadiran Paus,” ujar Gorbachev pada 3 Maret 1992. Ia dengan rendah hati meminta maaf atas kesalahan gereja di masa lalu. Meski telah renta ia tetap setia dengan panggilannya. “ Bahkan Kristus sendiri pun tidak turun dari salibNya,” katanya tenang ketika banyak orang memintanya mundur karena kesehatannya yang terus memburuk.
Ia tetap berkarya sampai Sabtu malam 2 April 2005, sambil menatap ke jendela apartemennya, ia berujar lemah “Amin.” Ia menyudahi karyanya, diikuti doa ribuan orang yang datang ke lapangan Santo Petrus dan tangis duka dunia yang meratapi kepergiannya.(Christo Korohama/Manly)
Sang Pecinta Manusia
Di atas nisan putihmu, bermekaran bunga-bunga putih kehidupan
Oh, berapa tahun hilang tanpamu-berapa tahun?
Di atas nian putihmu,
Tertutup kini untuk selamanya, sesuatu yang tampak terbit :
Kematian yang tak dapat dijelaskan
Diatas nisan putihmu,
Ibu, cintaku yang tanpa akhir.
Puisi Makam Putih itu, ditulis Karol Wojtyla ketika berusia 19 tahun. Saat ibunya meninggal Karol sangat kehilangan. Rasa kehilangan itu mengantarkannya untuk berdoa pada Bunda Maria. Setiap hari ia tak pernah melupakan doa. Dan, ia selalu merasa terhibur dan kuat menjalani hidup setelah berdoa pada Maria. Pengalaman ini membentuk kehidupan spiritual Karol yang begitu kuat dalam devosi kepada Maria.
Penderitaan yang dialaminya mulai dari kematian sang ibu, Edmund, dan terakhir ayahnya, serta penderitaannya selama pendudukan Nazi mematangkan dirinya. Ia menerima semuanya itu sebagai kehendak Tuhan. Hal ini membuat ia pun gampang memaafkan dan mencintai sesamanya. Mehmet Ali Agca adalah orang yang merasakan kelembutan hati Sang Paus.
Agca yang melakukan percobaan pembunuhan padanya 13 Mei 1981, tersentak ketika dari rumah sakit Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa ia mengampuni penembaknya. Setelah itu pada 27 Desember 1983, Bapa Suci mengunjungi Agca di penjara. Mereka berbicara berdua saja. “Apa yang kami bicarakan harus merupakan rahasia antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percaya sepenuhnya,” kata Bapa Suci setelah pertemuan. (Christo Korohama/Manly)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home