The Lust Boys, Pria Pengumbar Nafsu
Pria pantai Mombasa menawarakan layanan seksual bagi wanita kulit putih yang melancong di sana. Dalam dekapan beach boys, para wanita merasa sebagai makhluk tercantik di bumi.
Para pria muda itu berdiri berjejer. Tubuh mereka kekar. hitam terbakar matahari Afrika. Terkadang mereka bergurau sambil tertawa. Sesekali tersenyum sambil menyapa ramah para wanita kulit putih yang berlalu di hadapan mereka. Selang beberapa jenak kemudian seorang wanita kulit putih yang tak lagi muda menggandeng salah satu dari mereka. Pasangan bak seorang nenek dengan cucunya itu kemudian menghilang diantara hiruk-pikuk keramaian wisata pantai Mombasa.
Mombasa, kota yang terletak di pantai timur Afrika itu menwarkan beberapa keunikan. Selain panorama pantai yang indah, juga para lelaki muda yang biasa disebut The Beach Boys menawarkan diri sebagai pemuas napsu birahi para wanita kulit putih. Dengan iming-iming segepok uang sebagai balas jasa beach boys menemukan peluang untuk sedikit bernapas lega ditengah himpitan kemiskinan dan penderitaan yang melanda Afrika pada umumnya.
Sudah menjadi kebiasaan hari pertama setelah tiba di Mombasa para wanita kulit putih itu akan beristirahat untuk memulihkan tenaga setelah menempuh perjalanan jauh. Untuk mendapatkan seorang teman wanita, para pria pantai ini melakukan aktifitasnya dengan perlahan namun pasti. “Tak usah terburu-buru, karena terkadang Si Putih sedikit takut pada pria-pria hitam,” aku Job seorang pria pantai Mombasa kepada Gentlemen’s Quarterly.
Setelah melewatkan sehari istirahat, dan tiba waktunya para wanita bule itu beranjak dari tempatnya menuju sisi kolam renang hotel. Di bawah rindang pohon palem wanita kulit putih ini tergolek sambil memolesi sekukujur tubuh mereka dengan coconut oil dan bersiap memacu gairah. Beach boy paham betul dengan ritual ini. Sesaat kemudian biasanya big mama akan kembali ke pantai. Di saat itu, lelaki pantai harus dengan sigap menerkamnya. Ketidaksigapan hanya berarti membuang peluang emas.
“Jambo!”, “Hello!” itulah kata pembuka yang biasa diucapkan para beach boy saat berkenalan dengan seorang perempuan bule. “Haruna matata” atau “No problems” akan meluncur dari mulut mereka begitu melihat perempuan bule mengulurkan tangan merespon sapaan pembuka tadi. Bila kontak sudah dimulai langkah berikutnya adalah mengintensifkan hubungan sampai gejolak birahi memuncak. Bila sudah demikian para beach boy tinggal bersiap memperoleh upah.
Sepanjang waktu, setiap hari di Mombasa ratusan pria berwajah gelap berdiri di sepanjang pantai. Mereka menawarkan aneka jasa. Perjalanan wisata dengan boat, wisata snorkeling, atau menjelajahi tubuh para wisatawati. Tak semua wisatawan senang dengan kehadiran para lelaki pantai yang berdiri menunggu pinangan untuk jasa yang mereka tawarkan. Bagi yang merasa tidak senang cukup mengatakan “No, thanks”. Dengan segera para pria pantai itu akan berlalu untuk mencari sasaran lainnya.
Meski demikian, bagi sebagian wisatawan terutama perempuan, beach boys adalah peluang. Dalam dekapan para lelaki belia Afrika ini, para wanita bule itu merasa sangat diperhatikan. Dan, si beach boy tahu benar bagaimana cara berhadapan dengan para perempuan ini.
Para beach boy ini mampu menawarkan perlakuan sesuai dengan latar belakang para wanita yang biasa mereka sapa sebagai Big Mama. Perlakuan kepada big mama yang sehari-hari bekerja sebagai guru akan berbeda dengan perlakuan mereka terhadap big mama yang bekerja sebagai perawat misalnya. Dengan sangat piawai, para beach boy itu menaklukan satu demi satu wanita-wanita bule yang menghabiskan liburan mereka di pantai Mombasa. Cara memikat seorang wanita yang berusia 50-an tahun akan berebeda dengan wanita 60-an tahun. Sang beach boy pun tahu bagaimana memperlakukan seorang janda, perawan tua, atau wanita kesepian karena diabaikan oleh pasangannya di rumah. Bagi kaum hawa yang mengalami krisis cinta, para lelaki pantai ini hadir dengan jurus ampuh yang mampu menjadi penawar nikmat sesaat
Big mama ini beraneka paras dan posturnya. Kondisi Mombasa yang miskin dan menderita membuat sosok big mama sebagai orang yang memiliki segalanya terutama uang sangat didambakan oleh para beach boy. Sekalipun bagi mereka uang menjadi alasan utama relasi yang dibangun, tidak demikian halnya bagi para wanita kulit putih itu. Big mama umumnya ingin agar mereka dicintai dengan tulus dan sungguh-sungguh.
Untuk memperoleh perhatian, beach boy harus meyakinkan big mama. Jika big mama sudah merasa yakin mendapatkan cinta yang tulus dari sang beach boy, maka mereka dengan sendirinya menjaga relasi itu. Pada setiap tahun big mama akan datang menghabiskan waktu liburan selama seminggu bersama dengan lelaki pantai kekasihnya tersebut. Selain itu setiap bulannya para beach boy akan dikirimi dollar.
Saat malam tiba, dibawah sinar bulan, di antara dingin angin malam beach boy mengantar big mama beranjangsana menuju nirwana kenikmatan bersama napas mereka yang memburu. Ketika mereka sama-sama terkulai, segepok dollar telah menanti sang beach boy. Peluh membasahi tubuhnya. Malam itu, ia baru saja mengawali sebuah langkah meretas jalan untuk keluar dari realitas kemiskinannya. (Christo Korohama/Manly)
MENGOBRAL KATA CINTA UNTUK BIG MAMA
Job seorang beach boy Mombasa memandang hamparan pantai Mombasa yang tengah ramai itu. Usianya tak muda lagi, 30-an tahun. Di usia seperti itu ia tergolong senior beach boy senior di Mombasa. Ia adalah salah satu beach boy terbaik di sana, dengan sedikit jalinan hubungan yang masih terjaga dengan perempuan bule eropa.
Seperti dituturkannya pada Gentlemen’s Quarterly ia kesulitan menghitung jumlah big mama yang telah ia layani. Dari mereka Job telah memiliki sebuah taksi uzur yang saat ini telah rusak. Untuk mendapatkan semuanya Job mengaku untuk sesering mungkin mengobral kata-kata cinta kepada big mama.
Job juga mengakui bahwa ia mempunyai seoarang pacar asli afrika. Sejauh ini sang pacar memahami jalan yang ditempuhnya dengan menjadi beach boy. “Ada kesepakatan yang kami bangun, dan dengan itu tertutuplah sudah ruang untuk perasaan cinta yang mendalam dan kepemilikan permanen dalam hubungan kami,” akunya.
Semuanya ini tentu tanpa sepengetahuan big mama yang kerap datang tiba-tiba. Para big mama ini menurut Job, begitu mempercayai laki-laki Mombasa. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang karena para pria kulit hitam itu sama sekali tidak percaya pada wanita bule. Namun, untuk uang para lelaki pantai ini akan tulus dan baik hati.
“Jika seorang, big mama datang padaku, apa yang aku lakukan ? ” Job berandai-andai. “Aku akan bermanuver.”
“Mpenzi wangu nakupendasana” Sayangku aku sangat mencintaimu. (Christo Korohama/Manly)
TAK HANYA MOMBASA
Turisme seks tak hanya milik Mombasa. Perilaku ini adalah wujud dari era kebebasan seks yang kini semakin telanjang merasuki banyak negara. Di Indonesia, yang mirip-mirip dengan Mombasa adalah lelaki pantai Kuta Bali.
Kehidupan mereka sebagai lelaki penjaja kenikmatan seksual dibungkus dengan aktivitas sebagai penyewa papan selancar, maupun agen tour ke pelosok Bali. Sasaran empuk mereka adalah para wanita bule yang berlibur tanpa pasangan ke Bali. Dengan menawarkan diri sebagai guide, keakraban mulai terbangun.
Hubungan mulai diarahakan sebagai teman dekat untuk kemudian diakhiri di tempat tidur. Hubungan ini “meresmikan” mereka sebagai sepasang kekasih selam si perempuan bule berada di Bali. Setelah menjadi sepasang kekasih, lelaki pantai ini siap memetik hasil. Selain dari sang kekasih yang akan memanjakannya, ia juga menikmati komisi 10% dari pengusaha hotel, restoran, kafe serta tempat kerajinan yang disinggahi.
Rata-rata mereka menjalani kehidupan seperti itu karena tuntutan ekonomi. Tak sedikit di antara mereka yang berharap memperoleh keberuntungan ketika si bule mengajak nikah dan memboyong mereka ke luar negeri.(Christo Korohama/Manly)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home