Monday, November 16, 2009

Gede Prama, Berguru Pada Semesta dan Kehidupan


Sukses baginya adalah ketika seseorang sudah mengalir sepenuhnya dengan kehidupan. Pada saat itu, kebebasan sebagai salah satu puncak kehidupan telah dicapai.


Anak kecil itu kerap menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol dengan alam sekitarnya. Kadang pada malam hari ia duduk di halaman untuk bercakap-cakap dengan bulan dan bintang. Di lain waktu ia terlihat asyik berbincang dengan pohon pisang Sang ayah yang diam-diam memperhatikan puteranya mulai khawatir. Apakah mungkin si bungsu dari 13 bersaudara ini memiliki kelainan jiwa?

Sekian puluh tahun kemudian Gede Prama menemukan bahwa perbincangan-perbincangannya dengan alam semasa kecil di Bali, sangat berperan dalam membentuk kepribadiannya. Ia mengaku banyak menemukan kebijasanaan hidup dalam perbincangannya itu yang kemudian dituangkannya dalam tulisan dan konsultasi yang berikan pada klien-kliennya.

Ia melihat sukses adalah sebuah proses yang bergerak seiring umur manusia. Ketika muda sukses baginya adalah sebuah usaha menuju keadaan yang survive dan independent dari orang tua. Keinginan itulah yang mendorongnya untuk menyelesaikan sekolahnya agar bisa mandiri.

Selesai dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Bali, ia mencari sebuah tantangan baru untuk bisa survive dan independent. Gede Prama memutuskan untuk menikah. Saat itu pengertiannya tentang sukses bergerak lagi. Sukses baginya adalah ketika sang istri bisa berbahagia dan anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik.

Jakarta menjadi pilihan untuk dapat meraih mimpinya. Seperti halnya para pencari kerja lainnya di ibukota yang ganas ini, ia melamar ke berbagai perusahaan. Nyaris ia menjadi sopir bis antarkota. Namun pada saat yang bersamaan lamarannya di Bank BTN diterima.

Gede Prama tumbuh sebagai seseorang yang menyukai tantangan. Ia tergolong orang yang tidak terlalu betah dengan kemapanan. Gede tak pernah berlama-lama pada sebuah posisi tertentu. Tak cocok dengan lingkungan birokrasi di BTN, ia kemudian keluar, lalu diterima bekerja di Matshusita Elektrik.

Di saat teman-teman seangkatannya masih menganggur Putera Kampung Tajun Singaraja ini sudah berdasi dan bermobil. Ketika berhasil duduk sebagai asisten manajer di perusahaan Jepang ini ia memutuskan mundur dan melanjutkan sekolah. Suami dari I Gusti Ayu Suciati ini memilih Prasetya Mulya sebagai tempat untuk melanjutkan studi.

Menyelesaikan studi magisternya dengan hasil memuaskan membuat ia kemudian diminta untuk menjadi pengajar di Presetya Mulya. Gede kembali tak betah. Ia tak dapat menahan hasrat untuk melanjutkan studi di luar negeri. Ia melamar ke British Council untuk mendapatkan program bea siswa dan diterima. Dia melanjutkan studinya Leincester Inggris. Di Inggris ia kembali mendapatkan bea siswa untuk MBA Refreshment Course di Perancis.

Setelah itu Gede Prama kembali ke Jakarta. Sambil mencari kerja ia menjadi konsultan manajemen di beberapa perusahaan. Pada masa ini ia mengaku merasa sukses ketika suaranya didengar, tulisannya dibaca dan dihargai.

Salah satu perusahaan obat tradisional yang menjadi kliennya, meminta dirinya untuk menjadi komisaris. Pada usia 38 tahun, ia diminta untuk menduduki kursi CEO di perusahaan itu.Tapi Gede Prama tak berlama-lama di tempat itu. Setelah dua tahun ia meninggalkan perusahaan itu. Ia lalu ditawari oleh seorang temannya di pemerintahan untuk menjadi direktur utama di sebuah konglomerasi besar di negeri ini.

Gede Prama kembali tidak betah. Hanya sekitar tiga bulan. Bekerja di perusahaan itu ia mulai khawatir akan kehilangan kejernihan dan kejujurannya. Di tengah kegelapan krisis multidimensi yang melanda Indonesia, Ayah tiga anak ini memilih mundur dan berkonsentrasi penuh di Dynamics Consulting yang telah dirintis beberapa tahun sebelumnya.

Di perusahaan jasa konsultasi ini, ia merasa menemukan tempat pengabdian sebenarnya. Di tempat pengabdian yang disebutnya indah ini, dia mulai melihat ke belakang pada setiap jejak yang ditinggalkannya. Ia lalu menemukan bahwa ada serangkaian ‘kecelakaan dan keberuntungan’ yang berperan dalam sukses yang dicapainya.

Belakangan ia memaknai semua ‘kecelakaan dan keberuntungan’ itu sebagai bagian dari cara Pemilik Kehidupan ini bertutur untuk dirinya. Dalam refleksinya ia juga menemukan semua yang dialaminya adalah bentuk pernyataan cinta dari Tuhan. Cinta itulah yang mengantarnya terbang dari satu tempat ke tempat lainnya, membelokannya ke sana ke mari sampai ia mendapatkan tempat terbaik bagi dirinya.

Bagi ayah dari Luh Setwika, Made Adi Laksmana, dan Komang Krisna ini adalh dirinya harus selalu berarti bagi orang lain. Melalui 18 buku yang dia tulis, seminar dan konsultasi manajemen yang dilakukannya banyak perusahaan telah terbantu. Demikian juga, jutaan orang yang bekerja di perusahaan-perusaahaan tersebut.

Gede Prama telah memilih sebuah jalan yang sunyi, hanya bergelut dengan pemikiran dan berkawan dengan kata-kata. Namun di jalan yang sunyi itu, ia menjadi berarti bagi orang lain. Dari ruang kerjanya yang asri di perkantoran Menteng Sektor Tujuh Bintaro, Gede Prama, lelaki kelahiran 2 Maret 1963 masih terus berguru pada semesta dan kehidupan.(Christo Korohama/Manly)

1 Comments:

At 10:52 AM, Blogger Unknown said...

wow..great...pertama kali baca buku beliau tahun 2007..hmm..berkesan..
eh belakangan ketemua lagi dengan tulisan2 beliau yg menyerahkan
salam. www.infokampus.net

 

Post a Comment

<< Home